Tell Him 4th

TellHim2

Title ||  Tell Him 

Author || Alana

Main Cast || Park Jiyeon feat Lee Joon

Support Cast ||  Eunjung, Lee Minhyuk (CNblue), Hyomin.

Genre ||  Romance

Length || Chaptered

Rated ||  G

 

Disclaimer || I Own Nothing But The Storyline

 

Poster by Arin Yessy @ Poster Channel

 

 

 

>>> Tell Him <<<

 

 

Ya, Jiyeon harus terlihat cantik di depan Joon. Harus. Senyumnya merekah sempurna. Dia ingin terlihat berbeda. Dan semua itu hanya untuk membuat Joon menatap ke arahnya. Apa yang akan Joon pikirkan itu adalah hal yang sungguh menjadi keingintauan Jiyeon saat ini. Apakah Joon akan mengenalinya?  Semoga tidak. Karena saat ini Jiyeon hanya berpikir untuk membuktikan pada laki-laki itu, bahwa dirinya bukan gadis lemah. Dia juga mempunyai gairah hidup untuk maju dan berkembang. 

 

Tidak ada alasan yang jelas. Dan Jiyeon pun juga tidak mengerti dengan pribadinya yang tiba-tiba berubah. Kenapa hanya karena perkataan Joon yang sesingkat itu begitu mendorongnya untuk maju. 

 

.

.

.

 

#flashback

 

 

 

Ny. Park menatap putrinya yang menangis di dalam kamarnya. Dia tahu. Hati wanita selalu tahu tentang hal-hal semacam ini. Terlebih dia adalah seorang ibu. 

 

“Eomma, aku ingin mataku di oprasi. Aku ingin melihat. Aku ingin menjadi cantik seperti mereka.”

 

“Mareka siapa ?” tanya Ny. Park sambil mengusap wajah putrinya.

 

“Mereka para yeoja pada umumnya.”

 

“Kau lebih cantik dari mereka.” 

 

“Aku tidak melihat.” 

 

“Apakah sekarang menjadi penting ? Apa karena Joon ?” 

 

Jiyeon terdiam. 

 

 

“Apakah jika aku melihat, orang akan melihatku berbeda?”

 

“Jiyi, setiap orang mempunyai alasan sendiri dalam hidupnya untuk maju dan berkembang. Dan kau pun pasti mempunyainya. Tapi Eomma berharap, hal itu bukan demi kesenangan orang lain. Jika kau memang ingin matamu di oprasi, baiklah. Eomma akan mengusahakan apapun untuk itu. “

 

“Eomma. Apa aku terlihat lemah ?”

 

“Kau sangat membuat kami bangga. Kenapa tiba-tiba kau menjadi tidak percaya diri.”

 

“Eomma, aku ingin melihat dunia. Aku ingin menjadi wanita yang mandiri seutuhnya. Aku ingin mempunyai sesuatu yang bisa kubanggakan. “

 

“Itu cita-cita yang mulia. “

 

“Bagaimana aku bisa menjalani oprasi itu ?”

 

“Tinggalah bersama saudara dari Appamu. Nam Wohyun. Dulu ayah Woohyun sudah menawarkan hal ini sejak bertahun lalu. Namun Eomma tidak menginginkannya karena kau akan menjadi miliknya.”

 

“Siapa dia ? Apa maksudnya ?”  

 

“Hanya kerabat dekat eomma. Mereka tidk mempunyai anak perempuan. Semua garis keturunannya laki-laki. Dan Wooyhun adalah putra pertama Kakek Nam. “

 

“Tapi kenapa dia dipanggil Paman.” 

 

“Karena harus begitulah kau memanggilnya meski usianya masih muda. Dia mungkin lima tahun lebih tua darimu. Namun dia cerdas, dia berpendidikan tinggi dan berprestasi. Dia sudah memegang sebuah perusahaan dan mempunyai pengaruh besar di Borealis Co.Ltd  “

 

“Eomma aku tidak mengerti.”

 

“Tidak ada yang harus dimengerti. Jika kau ingin menjadi seperti yang kau mau, kau harus bersama dia.  Eomma juga berpikir, kau harus melihat dunia. Kau tidak harus berada di sini terus, terkurung dalam dunia yang sunyi. Kau tidak berkembang.”

 

Jiyeon terdiam. Dia mengangguk lemah, memikirkan tentang kehidupan yang akan dijelangnya. Seharusnya dia berterima kasih atas kata-kata Joon yang tiba-tiba membuatnya sakit hati justru memotivasi dirinya untuk melihat keragaman dunia. 

 

“Eomma harap kau tidak tersesat dalam dunia yang berbeda yang akan kau temui.”

 

Tn. Park menatap putrinya iba. Sudah sebesar itu, Jiyeon belum bisa menikmati keindahan alam yang selama ini dia huni. Laki-laki itupun menyesal kenapa tidak sejak dulu membuat putrinya melihat. Walau dia harus menjual penginapan ini. 

 

Jiyeon terdiam agak lama. Memahami hati kedua orang tuanya yang menaruh harapan besar atas masa depannya. Jiyeon tidak pernah menyalahkan kedua orang tuanya. Namun memang mungkin baru saat inilah hatinya siap untuk maju. Mungkin juga karena Joon.

 

.

.

.

 

 

Nam Woohyun. Dia laki-laki yang tampan dan kharismatik. Dia tersenyum ketika melihat kehadiran Jiyeon yang lugu dan cantik. Benarkah apa yang dikatakan ayahnya kalau Jiyeon akan dijodohkan dengannya. Namun hal itu memang masih menjadi rahasia. 

 

“Berapa usiamu ?” tanya Woohyun ketika mereka duduk berhadapan di depan meja kerja laki-laki tanpa senyum itu.

 

“Delapan belas tahun.” jawab Jiyeon.

 

“Aku akan membiayai biaya oprasi matamu. Apa kau senang ?”  pertanyaan Woohyun terdengar aneh. Apa karena Jiyeon terlalu sensitive saja saat mendengarnya. Apakah Woohyun menuntut timbal balik dari biaya yang akan dikeluarkannya.

 

“Tuan Nam. Saya sangat merasa lega, ada orang baik seperti anda yang membantu saya “

 

“Bagus, jika kau menyadari hal itu. ”  ujar Woohyun dengan nada dingin. Dia senang memperhatikan raut gadis di depannya menjadi panik. Mungkin dia berpikir kalau biaya itu harus dia kembalikan.

 

“Ayahku dan Ayahmu bersaudara. Dan kita otomotis mempunyai hubungan persaudaraan.  Tapi dalam hal ini, aku bertindak sebagai Ayah angkatmu. Aku yang mengurus dan membiayaimu. “

 

“Apa aku harus memanggilmu Appa ?”  tanya Jiyeon gugub.

 

“Tidak.  Jika diluar rumah, kau boleh memanggilku Woohyun. Aku tidak mau dianggab tua oleh gadis yang hampir seumur denganku.”

 

“Lalu aku harus memanggilmu Tuan jika kita berada di dalam rumah. Apa kita akan tinggal bersama ?” 

 

“Ya. Itu perjanjiannya. Apakah memberatkanmu ?”

 

“Tidak. Aku cukup mengerti, dan aku akan melakukan apa yang kau perintahkan padaku.”

 

“Bagus !”

 

Jiyeon terdiam. Dia memikirkan lagi apa yang akan terjadi seandainya nanti dia bisa melihat, dan terus tinggal di tempat ini. Apakah dia akan mendapatkan kehidupan seperti yang dia inginkan.

 

“Kau memikirkan sesuatu ?” 

 

“Ya, Tn. Nam, apakah saya boleh bertanya ?”

 

“Apa ? “

 

“Kapan aku akan dioprasi ?”  entah kenapa hal itu yang ditanyakan Jiyeon. Padahal dia hanya ingin bertanya apakah dia diijinkan untuk melakukan hal lain di rumah ini. 

 

“Kelihatannya aku harus menemui dokter dulu, dan memeriksakan kondisimu. Lalu setelah itu baru bisa ditentukan kapan kau akan menjalani oprasi.”

 

Jiyeon mengangguk.

 

.

.

.

 

Jadwal oprasi sudah ditentukan dan itu sungguh membuat Jiyeon merasa tegang. Dia belum pernah merasakan setegang ini menghadapi suatu hal. Tapi dia harus yakin. Niatnya sudah bulat, apapn yang terjadi nanti dia harus hadapi.

 

 

Siang itu tepat jam satu siang, Jiyeon sudah berada di ruang persiapan. Nam Woohyun muncul dengan tiba-tiba. Padahal dia mengatakan sebelumnya harus menghadiri meeting penting. Dia berdiri di sis Jiyeon yang sudah mengenakan baju rumah sakit. Terbaring dengan selang infus di tangannya. 

 

“Apa kau baik-baik saja ?” tanyanya.

 

“Aku baik-baik saja. ” jawab Jiyeon tanpa senyum. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa nervousnya. Tiba-tiba Woohyun menggenggam tangannya.

 

“Kau akan baik-baik saja. Aku suah menghubungi kedua orang tuamu. Mereka akan segera datang.” ujarnya lagi

 

“Kapan ?”  

 

“mungkin dalam tiga jam lagi. Mereka dalam perjalanan. ” Jiyeon terdiam mendengar penjelasan namja berwajah kurus itu. Jiyeon bisa mencium harum tubuh laki-laki di sisinya dengan jelas.

 

“Apa kau akan menemaniku ?” Jiyeon sedang berharap.

 

“Aku akan  berada tepat di depan ruang oprasi.”  jawab Woohyun

 

“Terima masih.” 

 

 

Lalu Jiyeon masuk ke dalam ruang oprasi. Dia harus dibius total. Dan hanya kegelapan yang dia rasakan. 

 

 

Beberapa jam yang terasa seperti ribuan tahun. Jiyeon seperti terombang ambing dalam gelombang fractal. Ratusan patern yang tidak ada habisnya.Membuatnya  terayun-ayun. Sayub-sayub dia mendengar music dan suara-suara mengenai penyuntikan, lapisan, atau apalah. Sangat samar..dan menggema. Lalu dingin. Sangat dingin hingga tubuhnya merasa beku. Namun sesaat kemudian seperti merasakan sebuah akiran hangat memasuki tubuhnya. Menelusup di setiap pembuluh darahnya. Lalu otaknya seperti berada dalam rasa nyeri. Hanya sebenyar, kemudian semakin terasa sejuk.  Lalu dia merasa tubuhnya di angkat pada sebuah busa dengan kain halus. Wangi… berjalan. Dan langkah-langkah kaki. Berderap. 

 

“Tolongg beri jalan !” teriak seseorang. Lalu tempatnya terbaring seperti di dorong. Suara roda-roda menyentuh lantai seperti menyanyat hati.

 

“Jiyeon….!”  suara itu….Jiyeon mengenalinya.  Namun dia masih belum tersadar dari bius yang menguasainya. 

 

 

“Sudah sampai!” ujar seeorang.  BRakh….suara pintu terbuka. Beberapa saat kemudian semua suara berangsur menghilang.  Dan dia merasa sunyi.  Sangat sunyi. Tidak ada siapapun di dalam ruangan, hanya satu desah nafas lain selain nafasnya. 

 

“Jiyeon…apa kau sudah sadar ?”  Suara itu lagi. Siapa ?  Otaknya masih belum bisa bekerja. Masih ada gelombang putih di dalamnya. Agh…mual…

 

“Muntah…”  bisik Jiyeon. Sangat tidak jelas.

 

“Apa…?” tanya suara itu lagi. Menggema.

 

“Muntah…!”  bisik Jiyeon lagi. Lalu dia meraa ada ledakan hebat dari lambungnya, dan meluap hingga mengalir keluar dari bibirnya.

 

“O Tuhan..apa yang terjadi ? Dokter !” panggi, suara itu.

 

Jiyeon kembali diliputi gelap. 

 

 

.

.

.

.

 

Sebuah panggilan ponsel membuatnya terjaga. Namun Jiueon masih belum bisa meliahat apa-apa. Gelap.  Ponsel siapa itu ? batinnya bertanya-tanya. Dia meraba-raba sisi disebelahnya. Lalu tertumbuk pada sebuah kehangatan. Tangan. 

 

Tangan siapa?

 

Dia merabanya. Sepertinya sosok di sisinya tertidur. Dia menangkupkan kepalanya di atas ranjang di sisinya, sementara tangannya dijadikan bantalan. Tn. Nam Woohyun kah ?

 

Dert..dert..dert..suara ponsel itu berbunyi lagi. Kali ini ada pergerakan di sisinya. 

 

“Siapa ?” Tanya Jiyeon keamudian.

 

“Jiyeon..kau sudah bangun ? Ini aku. Woohyun.”  seperti yang sudah Jiyeon duga. Woohyun memeriksa perban di mata Jiyeon. 

 

“Dalam tiga hari ke depan perban ini akan dilepas. Kau akan segera melihat.” ujar laki-laki itu.

 

“Mana Eommaku ?’ Jiyeon sibuk mencari suara eommanya.

 

“Mereka sudah pulang lagi. Penginapan mereka tidak ada yang menjaga. Kasihan tamu-tamu di penginapan.” ujar Woohyun menjelaskan.

 

Terdengar helaan nafas yang kecewa dari Jiyeon.

 

“Apa Tuan menungguku selama aku di sini ?” 

 

“Ya. Sebenarnya aku baru saja tiba. Mungkin karena aku lelah, aku tertidur.”

 

“Terima kasih Tuan.” ujar Jiyeon.

 

“Apa kau lapar ?”  pertanyaan itu mebuat Jiyeon tertegun. Sudah berapa hari dia tidak makan. Dan perutnya memang sangat lapar.

 

“Saya akan makan sendiri.”

 

“Oke !”  

 

Jiyeon merasa seperti diperhatikan. Ini sungguh tidak adil. Sementara orang lain bebas memperhatikannya, dia sama sekali tidak bisa melakukan hal yang sama. Hhh…Jiyeon mendesah lagi.

 

“Apa aku merepotkan Tuan ?” tanya Jiyeon dengan perasaan canggung

 

“Ya. Kau merepotkan aku.” jawab Woohyun dengan senyum. Seandainya saja Jiyeon bisa melihat senyum itu.

 

“Maafkan aku!”  ujar Jiyeon sambil menunduk.

 

Tidak ada sahutan selain tatap mata penuh kekaguman. Dan perasaan Woohyun mengalun dengan jernih. Dia menyukai sikap lugu itu.

 

.

.

.

.

 

Tiga hari kemudian.

 

 

“Apa kau siap ?” tanya dokter di hadapannya.  Jiyeon bernafas berat. Dia mencari-cari pegangan, namun dia tidak menemukannya. 

 

“Dimana Tuan Nam ?” tanya Jiyeon. Lalu terdengar pintu dibuka.

 

“Maaf aku terlambat !” ujar suara Woohyun yang tiba-tiba menyeruak.

 

Dia langsung mendekati Jiyeon.

 

“Apa kau mencariku ?” tanya Wohhyun lembut

 

“Ya. Aku merasa ketakutan Tuan.”

 

“Aku di sini. Tenanglah !”  Woohyun berusaha menenangkan.

 

“Apa sekarang kau siap ?” tanya dokter itu.

 

“Semoga.” jawab Jiyeon.

 

Perlahan-lahan dokter itu membuka lapisan perban di mata Jiyeon satu-persatu. Dia semakin menggenggam tangan Woohyun dengan erat.Laki-laki itu merasa bangga ketika Jiyeon membutuhkannya, dia berada di sisinya. Mataya begitu lekat menatap wajah cemas itu. Apakah Jiyeon akan trejut jika diabisa melihat dirinya. Apakah dia akan tertarik? 

 

“Apa kau bisa melihat sesuatu ?” tanya dokter itu.

 

“Cahaya…silau…agh, sakit!”  Jiyeon terpejam lag.

 

“Tolong jendela dan penerangan ditutup dulu. Matanya maih sensitive terhadap cahaya. Namun Jiueon merasad sangat bahaia. Dia tidak bisa melukiskan rasa bahagianya ketika dia bisa melijat setitik cahaya. Jantungnya bergemuruh.

 

“Tuan, aku bisa melihat cahaya…”  ujar Jiyeon antusias.

 

“Ya, Jiyeon. Yukurlah!” bisik Woohyun.

 

“Sekarang buka lagi matamu !” ujar doker itu.

 

Jiyeon membuka matanya, perlahan. Berkedip-kedip, lalu bayangan-bayangan hitam itu terlihat. Bentuk tubuh. Semuanya berjumlah…satu…dua..tiga..empat…hanya empat. Lalu Jiueon menoleh ke sebelah kanannya. Masih samar. Lak-laki itu. Apakah dia Nam Woohyun?  Jiyeon tertegun untuk memperjelas fokus pengelihatannya.

 

“Tuan Nam, kaukah itu ?” tanya Jiyeon. Tangan kirinya perlahan menjamah wajah namja di sisinya yang bergerak mundur. 

 

Kenapa menghindar ?  batin Jiyeon sedih. 

 

“Apa kau melihatku ?” tanya Woohyun kemudian. Jiyeon mengangguk. Wajah itu sama sekali tidak ramah. Dia menatap dingin ke arah Jiyeon. 

 

“Baguslah kalau begitu. ” Lalu Woohyun melepaskan genggaman tangannya.

 

“Kami akan segera memberikan beberapa resep untuk matamu. Dia masih entan dan memerlukan kekebalan menghadapi udara bebas dan ultraviolet. ” ujar sang dokter menjelaskan. 

 

Jiyeon mengangguk.

 

 

# Flashback end

 

 

“Nona Nam Jiyeon, Anda sudah selesai !”  

 

Jiyeon terkesiapdari lamunannya. Dia berdiri dan melangkah ke arah kasir. Namun sebelumnya dia sempat merapikan pakaiannya yang sedikit berkerut. 

 

Ponselnya berbunyi.

 

“Ya, Minhyuk !”  sapa Jiyeon langsung.

 

“Nona Nam, Joon ssi sudah datang. Apakah Nona dalam perjalanan ke sini !”

 

“Ya. Tunggu lima belas menit lagi, Oke !”  Jiyeon mematikan ponselnya dan menyerahkan kartu kredit pada petugas kasir. Setelah selesai, dia langsung keluar. Berdiri sebentar di depan salon dan menunggu mobilnya dibawa oleh petugas valet.

 

.

.

.

 

Kaca mata hitam dan penampilan wanita kelas atas ditunjukkan Jiyeon ketika turun dari mobilnya. Dan dia berjalan dengan anggun. Langkah kakinya seperti diiringi oleh desahan angin yang kenyibakkan rok panjangnya yang ringan. Dia tersenyum pada beberapa pengunjung galery yang sedang menikmati lukisan. Mereka adalah pelanggan setia. Tapi memang belum tentu datang untuk membeli. Mereka hanya sekedar menikmati seni atau memang sedang mempelajari seni. 

 

Joon berdiri dikejauhan. Dia melihat Jiyeon. Tatapannya terkunci begitu saja. Apakah yang dilihatnya ini benar seorang Jiyeon yang pernah dikenalnya. Sangat mirip. Hanya saja rambutnya pendek. Dan tentu saja nama keluarganya bukanlah Park melainkan  Nam. 

 

Dia bukan ParkJiyeon. Dia Nam Jiyeon. Tetas Joon sekali lagi. Dia berdiri menyambut kehadiran Jiyeon. 

 

 

 

#Jiyeon Pov,

 

Diakah Joon ? Laki-laki yang duduk di depan Minhyuk, assistenku. Matanya sungguh tajam. Dia menatapku. Dia benar-benar menatapku. Uphs, aku gemetar. Lihatlah tanganku saja tidak bisa diam bertingkah. Apakah aku sudah terlihat cantik ? Semoga saja tidak ada satu kekuranganku yang terlihat olehnya. 

 

Lipstickku!  mendadak aku tidak percaya diri dengan pulasan lipstickku. Apakah ada noda merah di gigiku. Semoga saja tidak. Aku sudah tidak sempat lagi berkaca. Agh, dia terus menatapku. Langkahku menjadi sedikit canggung. 

 

Astaga, ternyata posturnya memang tinggi. Dan wajahnya…. ya, dia mungkin lebih menarik di banding Woohyun. Penampilannya sangat santai. Setelan jeans dan kaos dipadukan dengan blaser yang lumayan membuatnya terlihat…wow!  

 

Bagaimana aku harus menyapa? Apakah tanganku lebih dulu atau senyumanku. Oh…bagaimana ini. Sudah semakin dekat. Dia berdiri. Dia seperti ingin menyambutku.

 

 

“Selamat siang !” sapa Joon lebih dulu.

 

“Selamat Siang !” balasku.  

 

Jangan tersenyum lebih lama, atau aku akan….  beku.

 

“Jiyeon …!” sapa Minhyuk.  Aku menoleh pada namja di sisi kananku, dia melambai. 

 

“Sebentar Minhyuk !”  Aku masih di tempatku, menatap wajahnya. Joon !

 

“Aku ke sini karena ada satu urusan oenting mengenai lukisanku.” ujar Joon kemudian. 

 

Mataku tertuju padanya. Segaris bibirnya yang menyungging senyum, tipis. Ada hiasan sinis, namun masih penasaran denganku. Apakah dia mengenali sesuatu dariku. Aku sudah merubah penampilanku. Aku tidak lagi kampungan. Aku…

 

“Jiyeon Ssi !”  tegurnya

 

“Nanti akan kulihat dulu!”  aku berjalan menuju ruanganku. Minhyuk menguntitku. Dia berjalan tergesa dibelakangku.

 

“Jiyeon…dia Joon. Lee Joon yang menanyakan lukisannya yang kau taruh di gudang.”  Minhyuk setengah berbisik.

 

Gudang ?

Bullshit ! aku tidak menaruhnya di gudang. Aku menaruhnya di …kamarku…di rumah Woohyun, maksudku…ya di rumah Nam Woohyun. Tunanganku. Hhh…sejak sebulan yang lalu. 

 

Bagaimana ini ?

 

“Jiyeon ssi..!”  teriak Joon di belakangku.

 

“Aku akan membayarnya !”  ujarku langsung. Dan dia tercekat. Aku menatapnya dari jarak tujuh meter. Matanya masih mencari kemiripanku dengan Jiyi yang dikenalnya. 

 

“Aku akan membawanya pulang. Itu adalah lukisan yang sangat berarti untukku.” ujarnya. 

 

Deg

 

Mataku jatuh ke lantai. Apa maksudnya berarti. Itu adalah lukisan wajahku. Bagaimana mungkin dia bisa menyebutnya berarti. 

 

Hentikan itu! Jangan menatapku terus dengan tatapan seperti itu, Joon. Bola matanya kehijauan di antara bayang-bayang pepohonan di luar sana begitu menyihirku untuk menjadi lemah. Aku bukan Jiyi yang dulu. 

 

Blug..

 

Aku terduduk di kusiku, menatapnya. Sementara Minhyuk hanya berkali-kali menghela nafasnya. Membuat ruanganku penat. Warna orange yang kupasang di dinding seperti terlihat menyala dengan kehadirannya. Joon. Dia membuat aura di sini sedikit bercahaya. Atau memang karena mataku yang baru sekali ini melihat pesonanya.

 

“Aku akan mengambilnya lagi. Kalau perlu aku akan membayar sewanya selama dia berada di sini.”  ulang Joon.

 

“Baiklah. Besok akan aku urus.”

 

“Sekarang ?”

 

“Aku sibuk !” ujarku tegas. Mataku sedikit menekannya. Dia bicara seolah-olah tidak ingin menerima toleransi yang aku inginkan. Keras kepala !

 

Aku senang bermain-main dengan emosinya. 

 

“Besok.” ujarku lagi. Paling tidak aku ingin bertemu dengannya sekali lagi, Tuan berkaki panjang. Lihatlah…ah, jangan memujinya. Aku bisa menggelepar. Aku tidak tahu dirinya yang sekarang. Mungkinkah dia sudah menikahi wanita itu. Eunjung. 

 

Ya lima tahun. Banyak hal telah terjadi dalam kurun waktu lima tahun berjalan ini. Terutama diriku.

 

“Kau tidak mempermainkan aku kan ?”  tanya Joon. 

 

“Jiyeon, aku keluar dulu ! Jika kau butuh aku,  panggil saja seperti biasanya.”

 

“oke !” sahutku cepat.

 

Minhyuk menutup pintu. Dan tinggalah aku bersama Tuan berkaki panjang, Joon. 

 

“Apa sebenarnya masalah Galery ini menurunkan lukisanku? Apa karena tidak laku? Atau karena…”

 

“Aku bosan.” ujarku.

 

“Hhh…!”  dia menyeringai. Bibinya yang eksotis terangkat secara ajaib. Aku menyukai itu.

 

“Jangan khawatir, aku akan menyerahkannya besok.”  ujarku lagi.

 

“Apakah kau yang berkuasa di sini ? Kenapa bisa seenaknya merendahkan karya seni seseorang ? Selama ini aku tidak pernah bermasalah dengan pemilik galery ini  sebelumnya.”

 

“Aku akan menghubungimu lagi. ”  Aku berdiri. Meraih ponsel dan tas tanganku. Berjalan ke arah pintu dan melewatinya. namun tangannya menarik lenganku.

 

“Siapa dirimu sebenarnya Nam Jiyeon ?” 

 

Tatap matanya menghujam tepat di jantungku. Siapa aku ? 

 

“Entahlah Tuan…? Seberapa jauh kau ingin mengetahui tentang aku ?”  sahutku  menantang. 

 

.

.

.

 

 

 

TBC

 

 

 

 

a/n

 

Pasti sudah lupa sama yang ini. ya, baiklah ! semogabisa dinikmati aja. dan kelanjutannya, pasti nunggu moodnya paling gak 75 %… Pis !

 

 

 

 

 

 

 

18 pemikiran pada “Tell Him 4th

  1. dari ayah angkat jadi tunangan woohyun susah di tebak,
    jiyeon percuma aja joon suruh liat kamu sebagai wanita dianya dah py anak

    • Iya–ya–susah di tebak. Nih kayak cerita comiknya Candy-candy..tau gak..paman Robert, yg dikira orang yg di kira udah tua..yg jadi ayah Angkat Candy, ternyata masih muda …dan ternyata menikah juga dengan Paman Robert itu.. Tapi di sini..ga tau deh..makanya…konfliknya aku bikin rumit. Semoga aja bisa dinikmati. Makasih ya !

  2. baiklah udah q putusi jiyeon harus nikah dg wohyun,ingat joon udah nikah dan punya anak..kkkk sapa q yg punya kuasa kan alana..pis alana…disini jiyeon berubah banget tapi tetap saja langsung terpesona dg joon…

  3. Hmmmm
    Woohyun pasti lgsg jth cinta pd jiyi…
    Tp k’ saat jiyi msh buta dy prhtian ,,
    Ehhh saat dh normal dy malah jaim gt,,
    Aigoo… Sungguh G̲̮̲̅͡å’ ngerti.
    What !!! Jd jiyi slm brtaon-taon msh tetap cinta joon,,,
    Daebak

  4. yes! makin seru jeng..
    nam woohyun malu2 tapi mau igh… sok dingin. dasar! resek! eh padahal gua udah suka banget scene si namu nemenin jiyeon pasca operasi dan sblm pembukaan perban jiyeon. duh! perhatian banget! bikin gua jatuh cinta. hehehe. syukirin deh ye kalo jiyeon berpaling ke kaki panjang! eh itu julukan ngingetin gua akan seseorang yg pernah bilang gua kaki panjang. padahal gua sama sekali gak ngerasa kaki gua panjang deh, banyak yg lebih panjang! wkwk *sowryy edisi curhaynya out* :3 but,, rasanya gua jadi agak gak rela kalo namu nanti potek perkara jiyeon berpaling. salahnya sii dia pny sisi manis yg perhatian kan bikin gua galau! Cekaka

Tinggalkan Balasan ke mkdJY Batalkan balasan